SEJARAH PUASA RAMADHAN
Puasa
Ramadhan diwajibkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada bulan Sya’ban tahun
ke-2 hijriah .
Dalam surah Al Baqarah : 183 , Allah
berfirman bahwa diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian .
Sebelum
ayat di atas turun , umat islam biasa berpuasa pada hari ‘Asyura / 10 Muharram
. Ketika Nabi Muhammad hijrah dan tiba di Madinah,
beliau mendapati orang-orang Yahudi juga berpuasa pada 10 Muharram
tersebut.
Orang-orang Yahudi menyatakan,
pada 10 Muharram Allah swt menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari serangan
Raja Fira’un. Kemudian Nabi Musa berpuasa pada 10 Muharram sebagai tanda syukur
kepada Allah. Lalu, Nabi Muhammad memerintahkan uma Islam agar berpuasa pada
tanggal 10 Muharram.
Begitu juga dengan kaum nasrani /
kristen , mereka juga berkewajiban untuk berpuasa dengan tatacara / ketentuan :
· Makan, minum, dan hubungan suami-istri pada
malam hari diperbolehkan, tetapi dengan beberapa catatan, yaitu orang yang akan
melakukannya belum tidur dengan niat berpuasa esok harinya dan juga belum
shalat isya. Artinya, jika sudah tidur atau sudah shalat isya di malam hari, ia
tidak boleh makan, minum, atau hubungan suami-istri di sisa malam tersebut,
hingga menjalani ibadah puasa pada hari berikutnya dan berbuka pada waktu
magrib.
· Cara puasa kaum nasrani di atas , juga diikuti
oleh umat islam , seperti perbuatan salah seorang sahabat Nabi : Jika salah
seorang sahabat berpuasa dan datang waktu berbuka, namun ia belum berbuka
karena tidur, maka ia tidak lagi boleh makan dan minum pada malam itu hingga
siang hari berikutnya dan berbuka di sore hari
· Orang-orang di bulan Ramadhan, jika seseorang
mereka berpuasa, kemudian di sore hari ia tidak sempat berbuka karena tidur,
maka haram baginya makanan, minuman, dan bergaul dengan istri, hingga berbuka
esok harinya
·
Ini adalah asbabun nuzul /
sebab turun surat Al Baqarah : 187
Disebutkan, pada suatu malam, Sayyidina ‘Umar ibn al-Khathab
berada di tempat Rasulullah saw. serta pulang ke rumah cukup malam dan
mendapati istrinya sudah terlelap tidur. Rupanya saat itu, Sayyidina ‘Umar
ingin bergaul bersama istrinya. Namun, ditolak oleh istrinya, “Aku sudah
tidur!” Ia berkata, “Kau sudah tidur?” Meski demikian, malam itu ia tetap
bergaul dengan istrinya.
Keesokan paginya, Sayyidina ‘Umar kembali menemui Rasulullah
saw. dan mengabarkan kejadiannnya semalam. Maka Allah menurunkan ayat :
Artinya, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa,” (QS.
al-Baqarah [2] 187).
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian
Agama Saudi Arabia :
Allah memperbolehkan bagi kalian
malam-malam bulan Ramadhan untuk menggauli istri-istri kalian. Mereka adalah
penutup dan penjaga bagi kalian, dan kalian adalah penutup dan penjaga bagi
mereka. Allah mengetahui bahwa kalian mengkhianati diri kalian sendiri dengan
melanggar apa yang dilarang Allah atas kalian dengan menggauli istri-istri
setelah waktu Isya pada malam-malam puasa (yang ditetapkan pada periode awal
perkembangan Islam). Maka Allah menerima taubat kalian dan melonggarkan perkara
tersebut bagi kalian. Sekarang, gaulilah istri-istri kalian dan carilah apa yang
Allah takdirkan bagi kalian berupa anak-anak.
Referensi : https://tafsirweb.com/697-surat-al-baqarah-ayat-187.html
Oleh sebab perbuatan Umar bin Khathab
sehingga turun surah Al Baqarah : 187 maka Sejak itu, ditetapkanlah pensyariatan puasa
dengan tata cara seperti sekarang ini, yakni menjauhi segala yang membatalkan,
baik makan, mainum, maupun bergaul suami-istri, sejak terbit fajar shadiq
hingga terbenam matahari. Sedangkan pada malam hari, semua itu diperbolehkan,
tanpa ada syarat: setelah atau sebelum tidur, setelah atau sebelum shalat isya.